Wednesday, May 5, 2010

Daftar Alamat Mass Media Untuk Anak-Anak

Punya koleksi cerita anak-anak yang menghibur, mudah dimengerti, nan edukatif? Jangan ragu, layangkan karya Anda ke media-media anak berikut ini:

Aku Anak Saleh

Jl. Pancoran Timur III No. 10, Pancoran, Jakarta Selatan. Kode Pos: 12760
Email: aas_redaksi@yahoo.com
Aku Anak Sholeh TK  dan Aku Anak Sholeh SD (AAS TK/SD) berisikan bacaan dan lembar kerja untuk anak muslim usia TK dan SD. Cocok untuk mengakrabkan anak dengan nilai-nilai Islam.
Menerima kiriman cerpen dan dongeng.
      



    Gambar majalah diambil dari:
    http://www.rahmaniya.com/?p=38
     Bobo
    Gedung Gramedia Majalah Lt.4, Jl. Panjang No. 8A, Kebon Jeruk, Jakarta Barat 11530
    Telepon: (021) 5330150/ 5330170 eks 33201/33206
    Faks     : (021) 5320627
    Email: bobonet@gramedia-majalah.com
    Bobo ditujukan untuk anak-anak usia SD
    Menerima kiriman cerpen dan dongeng. Panjang tulisan maksimal 3 halaman folio, spasi 2.
    Bobo juga menerima karya-karya saduran, terjemahan, dan sejenisnya. Jangan lupa sebut sumber cerita asli.
    Terbit seminggu sekali. 

     
    Gambar majalah diambil dari: 
     books.dinomarket.com/ads/3825531...us-2009


    Mombi (Mombi, untuk anak yang belum sekolah, Mombi SD, untuk anak usia SD)

    Gedung Gramedia Majalah Lt. 4, Jl. Panjang No. 8A, Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Kodepos: 11530
    Telepon: (021) 5330150/ 5330170, eks 33271/ 33273
    Faks     : (021) 5321019
    Menerima kiriman cerpen dan dongeng untuk anak-anak SD. 
    Ketik naskah di kertas folio, 2 spasi, maksimal 500 karakter.






    Gambar majalah diambil dari:
     www.gramedia-majalah.com/index.p...ail/id/3







    Bravo 
      Alamat: Jl. H. Baping Raya No. 100, Pasar Rebo, Ciracas, Jakarta Timur
    E-mail : redaksi@majalahbravo.com
     Majalah ini menerima kiriman cerpen, komik, dan dongeng, untuk anak usia SD. Majalah ini juga menerima cerpen maupun komik dalam Bahasa Inggris yang mempunyai pesan moral, dan belum pernah dipublikasikan oleh media mana pun. Cerita yang diterima khusus untuk cerita dengan karakter manusia dan mengandung moral. Tidak menerima fabel.  Majalah ini terbit sebulan sekali.

    Syarat dan Ketentuan:
    Naskah Komik:
    • Ide orisinal dan bukan saduran.
    • Diketik menggunakan font Arial, point 10, dan spasi 1,5
    • Naskah komik dikirimkan melalui email.

    Cerpen/Dongeng:
    • Diketik 1,5 spasi, menggunakan font Arial ukuran 10. Panjang naskah 500-600 kata. 
    • Majalah hanya menerima kiriman naskah melalui e-mail
    •  Tim Redaksi akan memberitahukan terlebih dahulu apabila naskah tersebut akan dimuat pada Majalah Bravo!

    Semua naskah dikirimkan melalui e-mail ke:
    redaksi@majalahbravo.com
    redaksi@majalahbravo.com
    redaksi@majalahbravo.com This e-mail address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it


    Jangan lupa untuk mencantumkan data diri yang lengkap, email, dan nomor telepon.

    Gambar majalah diambil dari http://www.majalahbravo.com/home/
    Orbit (majalah science anak)
    Gedung The Habibie Center, Jl. Kemang Selatan No. 98, Jakarta 12560
     Website:
    http://www.orbit-kids.com/ 
    http://majalahorbit.multiply.com/

    • Majalah iptek anak
    • Menerima kiriman cerpen.


     

    Gambar majalah diambil dari: tingkahanak.com
     




    Koran anak-anak 
    Kompas Anak
    Jl. Palmerah Selatan No. 26-28, Jakarta 10270
    Telepon: (021) 5347710 
    Email    :kompas@kompas.com
    • Panjang naskah sekitar 3-4 kuarto. 
    • Tema cerita harus baru dan menarik.
    • Jika mengirim lewat pos, karya kita yang tidak dimuat akan dikembalikan lengkap dengan alasan kenapa cerita kita tidak dimuat, walaupun kita tidak memberi amplop dan perangko balasan saat mengirim. 
    • (http:/lorongbuku.blogspot.com/2009/04/mau-ngirim-naskah-anak.html)


    Info-info yang tercantum di sini diambil dari berbagai sumber. Tapi yang paling banyak adalah dari lampiran daftar nama penerbit dan majalah pada buku 25 CURHAT PENULIS BEKEN, karangan TRIANI RETNO A. Terbitan Kompas Gramedia Cetakan tahun 2009. Jazakillah ukhti =)

    Bagi anak-anak FLP UM yang mempunyai informasi lain tentang alamat penerbit, ayo berbagi informasi dengan mengirimkan info ke umterbit@gmail.com
    Let's share. SALAM LASKAR PENA =)

    Saturday, April 10, 2010

    APA SYARAT CERITA YANG BISA DIFILMKAN??? Bag 2

    Jika pada postingan lalu yang dibahas adalah tentang unsur dramatik dalam cerita, nah sekarang mari kita bahas syarat kedua yang wajib dimiliki sebuah cerita agar bisa diadaptasi menajdi skenario film, yaitu:
    PROBLEMA UTAMA YANG KUAT

    Cerita adalah kisah tentang perjuangan Protagonis dalam melawan/mengataso problema utamanya (Main Problem). Dalam  perjuangan tersebut akan muncul sejumlah hambatan dan kesulitan yang menimbulkan problema-problema baru. Sekian problema yang bermunculan itu bisa saja tersingkir dalam perjalanan cerita, terselesaikan atau mengecil, tapi problema utama barulah akan berakhir pada akhir cerita. 

    Problema Utama ini umumnya akan muncul pada permulaan cerita. Terkadang juga sengaja disembunyikan dulu untuk memancing Rasa Ingin Tahu penonton. Tapi PROBLEMA UTAMA HARUS ADA. Problema utama inilah yang mendorong terjadinya cerita. Problema Utama Oedipus Rex adalah adanya takdir yang menggariskan bahwa Oedipus akan kawin dengan ibunya dan membunuh bapaknya. Oedipus menentang takdir itu, maka terjadilah cerita, yakni perjuangan dia agar takdir tidak terjelma. Problem utama Romeo dan Juliet adalah saling jatuh cintanya dua remaja yang berasal dari dua keluarga yang saling berseteru. Problema Utama Perang Kemerdekaan Bangsa Indonesia adalah penolakan pihak Belanda atas keinginan  bangsa Indonesia untuk menjadi bangsa merdeka. Kisah problema utama perang kemerdekaan Indonesia ini terdiri dari berbagai pertempuran di mana-mana, perundingan-perundingan, problem intern tentara kita, pengkhianatan PKI di Madiun, dan sebagainya.

    PROBLEMA UTAMA ITU HARUS KUAT, sehingga penonton bersedia meluangkan waktunya yang berharga untuk mengikuti kisah si Protagonis menyelesaikan Problema Utamanya itu, sampai akhir cerita.

    Apa Syarat yang Bisa Membuat Problema Utama Kuat?
    Problema Utama itu HARUS MEMPUNYAI PERTARUHAN YANG BESAR, yang akibatnya fatal kalau tidak bisa diatasi. Oedipus akan mengalami nasib fatal kalau dia tidak bisa melawan takdir, karena dia harus membunuh ayahnya dan mengawini ibunya. Beda kalau umpamanya Problema Utama Oedipus hanya ditakdirkan terserang penyakit kurap eksim pada usia sekian (XD Ada2 aja mah ni Yusa Biran). Perjuangan Oedipus untuk menghalangi terjadinya takdir demikian itu tidak akan menarik perhatian penonton, bahkan tidak bakal dibikin cerita oleh Sophokles, meskipun kisah untuk menyembuhkan penyakit kurap itu tentaranya harus mencari daun dadap sampai ke negeri Cina. Karena kalaupun penyakit kurap itu tidak teratasi, risikonya tidak fatal. Paling-paling Oedipus sang Raja banyak garuk-garuk sekedar agak kurang etis kalau sedang di atas singgasana tangannya garuk sana garuk sini.

    Risiko fatal Problema Utama tidaklah harus yang berdarah-darah atau runtuhnya wibawa sang Maharaja, atau runtuhnya bangsa. Bisa saja resikonya adalah rusaknya harga diri seorang Ketua RW di hadapan para warganya seperti dalam skenario film pendek IQRO' (hehehe promosi skenario sendiri.) Skenario ini dibuat secara keroyokan oleh Neko, Risma, dan Mbak Elshie UKMP untuk event lomba IMD The Sequel di UI. 

    IQRO' merupakan sebuah kisah konyol yang bercerita tentang seorang lelaki yang disegani di lingkungannya, Pak Agus Daiman (40), sang Pak RW. Ia adalah seorang lelaki yang kharismatik, selain itu ia juga disegani karena anak semata wayangnya yang bernama Risma (23), merupakan kampiun kompetisi-kompetisi qira'ah tingkat nasional, bahkan seorang hafidzah. Sang Ayah memang sangat disiplin dalam menerapkan pendidikan agama dalam keluarganya. Namun, di balik itu semua ternyata sebenarnya beliau justru tidak bisa mengaji! Risma diceritakan sudah sering berusaha membujuk ayahnya untuk belajar mengaji, tapi Pak Agus selalu mengelak.
    Alasan yang ia pakai untuk menghindar saat diajari mengaji adalah karena ia sudah tua, sehingga sulit mengingat huruf-huruf Al-Qur'an.

    Konyolnya, sebagai Pak RW ia selalu dihadapkan dengan keharusan untuk memimpin acara-acara keagamaan, seperti memimpin sholat, membaca doa saat pembukaan pengajian, dan tilawah Al-Qur’an di acara tasyakuran warganya. Karena ia gengsi ketahuan tidak bisa mengaji oleh warganya, ia selalu berusaha
    menghindar sekuat tenaga. Ia juga sengaja datang terlambat pada shalat-shalat jamaah di mushola karena takut akan ditunjuk menjadi muadzin atau bahkan imam.

    Rahasia Pak Agus mulai terancam justru ketika Risma akan menikah. Orangtuan Akbar (nama calon suami Risma) mengira kehebatan Risma dalam berqiraah tentu menurun dari bapaknya dan memohon Pak Agus untuk bertilawah Al-Qur'an pada acara ijab kabul. Pak Agus tentu saja tidak sanggup menolak, karena dengan begitu rahasianya akan ketahuan. Problema Utama Pak Agus menjadi semakin kompleks ketika tiba-tiba Risma ngambek dan mengancam akan membatalkan ijab-kabul jika sang Ayah tidak menuruti permintaan itu. Padahal, tanggal akad nikah sudah ditentukan okeh kedua keluarga itu, akan diadakan 2 minggu lagi. Akhirnya dengan waktu yang sangat terbatas, Pak Agus terpaksa harus pontang-panting belajar mengaji secara kilat. Tentunya dengan sembunyi-sembunyi agar para warganya tetap tidak mengetahui rahasia terbesar dalam hidupnya, TIDAK BISA MENGAJI^^ 

    Simple kan? ^_~

    Nah, syarat berikutnya agar suatu cerita bisa diadaptasi menjadi skenario film adalah Fisibel Dituturkan Secara Filmik. Cerita macam apa itu? Wait for the next post =D 

    Materi ini diambil dengan sedikit perubahan dari 
      H. Misbach Yusa Biran. (sang Maestro Perfilman Indonesia)

    Monday, March 29, 2010

    APA SYARAT CERITA YANG BISA DIFILMKAN??? Bag 1

    Postingan sebelumnya adalah bagaimana mengadaptasi cerpen menjadi skenario film. Di situ cerpen yang akan diadaptasi adalah LAMPU JALAN. (Lihat postingan itu di sini)

    Tapi sebelum membahas bagaimana cerpen "LAMPU JALAN" dalam postingan lalu diadaptasi ke dalam bentuk plot dan skenario film, ada baiknya kita mengetahui, cerita macam apa sih yang bisa dijadikan skenario film? Apa saja kriterianya? Let's Check This Out!
     
    Pada acara diskusi-diskusi film, seringkali kita mendengar orang mencampuradukkan antara cerita dan skenario. Ada yang membahas skenario, tapi yang ia bicarakan adalah ceritanya. Atau sebaliknya. Umpanya, dia mengritik bahwa ceritanya lamban. Nah, kalau lamban, itu adalah kesalahan skenario. Atau orang lain memuji skenario debagai cerdas dengan menyebutkan dialog-dialognya banyak yang memiliki makna tiga dimensi. Kalau skenario ini berdasarkan novel, maka dialognya diambil dari novel sumbernya. Artinya yang bagus adalah ceritanya, bukan skenario. Atau dikecam skenarionya, karena tokoh-tokoh ceritanya tidak berkembang. Itu pada dasarnya adalah kesalahan cerita, bukan skenario.
    (H. Misbach Yusa Biran, Teknik Menulis Skenario Film Cerita, 2006:1)

    H. Misbach Yusran adalah suami dari aktris senior, Nani Wijaya, sekaligus penulis senior yang sudah sangat berpengalaman dalam bidang penulisan skenario film sejak tahun 1955. Dalam bukunya, Teknis Menulis Skenario, ia mengatakan bahwa tidak semua jenis cerita bagus atau cocok untuk difilmkan. Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi cerita sebelum diadaptasi ke dalam skenario film. 

    Pertama, cerita untuk difilmkan haruslah cerita yang mengandung unsur dramatik (dramatic story). Nah cerita yang dramatik itu yang seperti apa? Hmm... hehehe... sejenak, mari kita berteori ria. Eits! Jangan berkerut gitu dong keningnya! Ntar kamu cepet keriput loh hihihi. 

    Jadi gini, singkatnya kata dramatik itu berasal dari kata drama dari bahasa Yunani, yang kemudian berarti pertunjukan pentas. Pagelaran yang ada mulanya merupakan bagian dari upacara keagamaan, kemudian berkembang menjadi pementasan cerita yang berisi konflik-konflik. Maka kata "drama" di samping berarti pertunjukan pentas, tapi juga bermakna peristiwa yang menggetarkan. (Yusa Biran, 2006:2) 

    Nah berarti kita dapat satu kesimpulan di sini, bahwa cerita yang layak untuk dijadikan skenario film adalah cerita yang menggetarkan. Seperti apa cerita yang menggetarkan itu? Apakah cerita tentang situasi gempa? Kan bumi bergetar tuh, hehehe... Atau cerita tentang Inul Daratista yang menggetarkan panggung dan jagad MUI? Hehehehe...  Yeah nggak sepenuhnya ngaco sih. Kalau penulisnya handal, maka dua ide cerita di atas bisa disusun menjadi skenario yang memiliki alur atau plot yang menggetarkan. 

    Dalam kehidupan sehari-hari,  kata dramatik digunakan orang dalam ungkapan "drama rumah tangga", atau "drama cinta segitiga". Pengertian kata dramatisasi di situ bisa disamakan dengan “cerita duka”. Ungkapan “dramatisasi” berarti rekayasa agar sesuatu itu menjadi lebih susah (Yusa Biran, 2006:2). Lihat saja sinetron-sinetron Indonesia yang termehek-mehek itu. Sang tokoh utama masuk rumah sakit cuma gara-gara keserempet becak saja bisa menimbulkan reaksi yang heboh luar biasa dari orang-orang di sekitarnya. Patah hati setelah rebutan cowok saja bisa bikin sang tokoh sampai melolong-lolong (halah, ni sinetron apa yang nulis postingan ini yang lebay??? Hehehe) Apa iya di dunia nyata ya selebay itu? Well...yah tergantung sih, soalnya kadang episode di dunia nyata bisa kayak sinetron sih...hihihi... Tapi pada umumny sih nggak segitunya^^. Dalam dramaturgi, kata drama ini dipahami bukan hanya terbatas pada duka cerita itu, namun semua cerita yang menggugah emosi. 

    Dalam cerita dramatik tokoh yang dikisahkan, tokoh utama cerita haruslah objek yang menarik, dan problemanya juga harus kuat dalam menggugah emosi penonton. Tokoh yang menarik itu adalah yang bisa menimbulkan rasa simpati orang pada umumnya. (Yusa Biran, 2006:3) Apakah tokoh yang menarik itu haruslah memiliki background cerita yang rumit seperti Rambo, seorang veteran Perang Vietnam? Haruskah ia seperti Terminator, cyborg yang dikirim dari masa depan untuk menyelamatkan calon tokoh pemberontak ? Atau seperti Eragon, yang menyandang takdir sebagai penunggang naga terakhir  yang dapat menumbangkan seorang raja yang lalim? Yah, tokoh-tokoh di atas memang secara imajinasi termasuk menakjubkan. Memiliki pendalaman karakter yang detail dan didukung oleh observasi. Tapi untuk membuat sesuatu yang menarik tidaklah harus rumit.

    Tokoh dengan background cerita yang sederhana pun bisa diramu sehingga dapat mengaduk-ngaduk emosi pembaca. Tak kalah menggugah emosi seperti Rambo, Terminator, dan Eragon. Dia bisa gadis cantik yang kaya pandai, dikelilingi banyak teman dan akhirnya jatuh cinta pada seorang penyair introvert yang eksentrik di sekolahnya. Seorang pengantar film yang berdedikasi untuk bisa mengantarkan filmya ke bioskop tepat waktu pun bisa menjadi tokoh yang sangat menarik. Bisa juga seorang anak dari sekolah kampung pedalaman yang memiliki keinginan kuat untuk melanjutkan pendidikannya; atau seorang puteri pemilik pesantren ortodok yang akhirnya memberontak; seorang pemuda yang bertahan di Kairo selama 9 tahun membuat bakso demi membiayai biaya pendidikan adik-adiknya di Indonesia; seorang pemuda yang memiliki mimpi untuk menghajikan emaknya. Familiar dengan semua cerita ini? =) 

    Berdasarkan pengamatan Neko, justru cerita-cerita yang simple dan down to earth inilah yang cocok menjadi karakter perfilm-an bangsa Indonesia. Apalagi jika film-film itu diwarnai oleh lokalitas yang kental seperti pada DENIAS, LASKAR PELANGI, dan lain-lain. Kalo bikin yang kayak Rambo mah, ga pantes. Hehehehe... intinya keep it simple but still have strong characteristic and high quality. Gitu loh =)

    nah lanjutan untuk posting ini adalah syarat kedua yang harus dimiliki sebuah cerita agar bisa diadaptasi ke layar kaca: PROBLEMA YANG KUAT.

    Bagaimana problema yang kuat dan bagus itu? Klik di sini

    Chao ^_~V

    Saturday, January 9, 2010

    MENGADAPTASI CERPEN MENJADI SKENARIO FILM (Bag. 1)


    Ngubah cerpen jadi skenario? Emang bisa? Bukannya kependekan tuh? Biasanya kan novel yang di-film-kan, atau istilah kerennya ekranisasi gitu. Udah tau film EMAK INGIN NAIK HAJI kan? Film yang menyentuh itu, diangkat dari cerpennya Asma Nadia loh. Bagus kan? Emang sih, secara durasi akhirnya filmnya juga lebih pendek daripada mayoritas film-film bioskop yang minimal 90 menit. Ya, film itu cuma 80 menit panjangnya. Tapi yang penting kan pesannya nyampe.

    Lagipula, ada penelitian yang menyatakan bahwa pesan visual lebih bisa diterima daripada pesan tertulis terutama untuk anak-anak. Apalagi kalau gambarnya bisa bergerak-gerak. Dan pesan visual ga cuma efektif buat anak-anak aja. Banyak orang yang lebih mudah mengingat adegan dalam film karena ditampilkan secara visual. Adegan-adegan pada cerpen atau novel, biasanya orangnya lupa-lupa ingat. Tapi ini juga tergantungorangnya sih. Tapi intinya asyik kan kalau cerpen kita dapat mencapai pangsa pasar yang lebih luas jika tokoh-tokohnya bergerak dan konfliknya bisa tampil di layar perak?

    Pada dasarnya nggak semua cerpen atau karya sastra tertulis bisa dibuat menjadi skenario film yang bagus. Ada beberapa ketentuan mendasar yang harus dipenuhi agar sebuah cerita bisa diangkat menjadi skenario film yang menarik nan dinamis. Hal-hal berikut akan dibahas insyaallah setelah dua postingan berikutnya. Jadi di sini, Neko akan menampilkan dulu salah satu cerpen Neko yang pernah jadi Juara V Peksimenal (Pekan Kreativitas Seni Mahasiswa Nasional) tingkat Jatim (idiiih kok malah pamer? Hehehehe). Nah, coba kalian cermati, bisa nggak kira-kira cerpen ini dijadikan skenario?

    Pada dua postingan berikutnya,  Neko akan memposting hasil percobaan adaptasi cerpen ini ke dalam plot skenario film yang bisa ditapilkan secara visual. Kalau mau, kalian bisa coba di rumah ya? (hehehe...kaya guru aja). So, let's learn by doing first.


    LAMPU JALAN



        Langit semburat merah. Perlahan mentari meluncur kembali ke peraduannya. Lelah setelah seharian menyinari mayapada. Seorang lelaki kurus bernama Nurcahyo mengayuh sepeda tuanya lambat-lambat, pulang ke rumahnya. Lima belas tahun sudah sang sepeda setia menemaninya, mengantarkannya pulang-pergi ke sebuah SMP Negeri di kota, tempat ia bekerja sebagai guru Sejarah. Selama itu juga ia terus menanti pengangkatan status dirinya dari guru honorer menjadi guru tetap. Tak heran keningnya selalu terlihat berkerut karena ia terus memikirkan nasibnya yang tak jelas. Guratan-guratan usia sudah menghiasi wajahnya tirusnya, membuatnya tampak lebih tua dari umurnya yang sekarang sekitar 40-an.


        Sepanjang perjalanan menuju rumahnya, lelaki itu terus melamun, memikirkan kapan nasibnya akan berubah. Hingga akhirnya ia mencapai pada sebuah kesimpulan, "Ealah...cuma Tuhan yang tahu, kapan orang-orang 'atas' itu mau tahu dengan nasib orang-orang sepertiku." Tanpa sadar ia berkata pada dirinya sendiri.


        Sampai di sebuah jalan kecil, ia berhenti mengayuh. "Eeh...eh...eeh...!" Srreeeekkk! Bunyi sepatu pantovelnya saat bergesekan dengan tanah. Rem sepedanya agak blong, sehingga ia harus menggunakan sepatunya setiap kali ingin berhenti.


        Biasanya cukup banyak orang dan kendaraan yang berlalu-lalang di sana. Walaupun kecil, jalan itu adalah jalan penting yang menghubungkan tiga kampung di daerah itu dan juga jalan tercepat menuju kota. Namun, tak seperti biasanya, saat itu tak seorang pun melewati jalan itu, selain dirinya. Sepi. Nurcahyo tak urung bergidik melihat sisi kanan-kiri jalan yang ditumbuhi rimbun pepohonan yang sangat lebat layaknya hutan kecil. Suasana saat itu begitu remang-remang, dan terkesan...angker.


        "Halah! Ora wedhi aku! (Tidak takut aku)" Ia menyergah dirinya sendiri. Diusirnya pikiran-pikiran aneh yang hampir menguasai benaknya tadi. Kemudian ia turun dari sepedanya dan bergegas menuju ke sebuah lampu jalan yang berdiri tegak di pinggir jalan. Lampu itu satu-satunya penerangan di sana. Selama ini cuma Nurcahyolah yang mau menyalakannya sepulang bekerja. Pagi harinya saat ia akan berangkat kerja, baru ia mematikannya lagi. Hemat listrik, begitu pikirnya.


        Di belakang lampu membentang parit besar nan dalam. Dengan hati-hati Nurcahyo turun ke parit. Untuk menyalakan lampu itu, orang memang harus turun ke parit, karena saklar lampu itu terpasang di dinding beton parit.


        Paru-parunya langsung sesak dihantam serbuan aroma khas parit yang menguar. Baunya…uh! Jangan tanya! Ada juga orang yang buang air di parit itu! Selain itu, tampaknya hampir semua orang yang melewati jalan melemparkan sampah-sampahnya ke parit. Tak heran kalau parit itu selalu meluap bila hujan tiba. Orang-orang biasanya mengeluh bila banjir melanda kampung mereka. Namun, toh mereka tak juga menghentikan kebiasaan buruk mereka: membuang sampah di parit!


        "Tukang listrik edan!" Gerutu Nurcahyo, dulu saat pertama kalinya menyalakan lampu. Entah apa yang dipikirkan si tukang listrik saat memutuskan untuk memasangnya di sana. Agar saklar itu tak menjadi bahan keisengan anak-anak nakal? Atau justru tukang listrik itulah yang iseng? Nurcahyo tak pernah tahu. Satu hal yang ia tahu, karena hal itulah tak ada orang yang sudi menyalakan lampu selain dirinya.


        "Duh Gustii..." Bau busuk parit membuat kepalanya pusing. Ia sudah kebelet pingin muntah! Saat tangannya akhirnya berhasil meraih saklar lampu, sekejap tiba-tiba aliran listrik menyengat jari-jarinya! Lelaki itu tersentak! Walau tegangannya tidak terlalu tinggi, hal itu membuat Nurcahyo merasa jantungnya terasa berhenti berdetak selama beberapa detik! Rasanya ngilu sekali. Jari-jarinya terasa berkedut-kedut.


        "JI**NC*K!" Umpatnya spontan. Ia jengkel setengah mati! "Lampu sialan!" Dalam keadaan dikuasai amarah, ia melakukan perbuatan paling konyol sedunia: meninju tiang lampu itu. Kontan, ia pun menjerit, mengaduh-aduh, dan melontarkan seribu satu umpatan dari bibirnya, sembari memegangi tangan kanannya yang memar membiru.


        Selama ini Nurcahyo tak pernah menganggap menyalakan lampu jalan itu sebagai suatu hal yang istimewa dan hebat. Baginya, turun ke parit sambil mati-matian menahan nafas lalu menyalakan lampu adalah salah satu rutinitas hariannya. Sama seperti saat dia makan, minum, tidur, pergi bekerja, buang air, dan kentut. Ia menyalakannya cuma karena tak ingin terjungkal saat melewati jalan itu. Berjalan dalam di jalan yang gelap tentu tak enak, apalagi kalau bersepeda. Lagipula, rumahnya terletak hanya beberapa meter dari lampu jalan itu.


        Namun, insiden kecil barusan benar-benar membuatnya sakit hati! Ia muak pada parit busuk itu, muak pada lampu jalan itu (yang telah berani menyetrumnya), muak pada hidupnya yang cuma begitu-begitu saja. Muak pada statusnya yang tak pernah bergeming dari 'pegawai honorer abadi'. Paling utama, ia muak pada ketidak pedulian orang-orang di sekitarnya. Kini perasaan itu telah berkerak, menjadi borok di hatinya, dan tak sanggup lagi ia bendung.


        Pekerjaannya yang selalu berkutat dengan sejarah membuatnya benar-benar paham bagaimana bangsa ini memperlakukan para pahlawan. Setiap tanggal 17 Agustus-an, ia hanya bisa menelan ludah setiap koran memberitakan tentang nasib para pejuang veteran kemerdekaan pasca penjajahan. Ada yang kini berprofesi sebagai tukang parkir, tukang becak, bahkan tukang hutang. Ironis!


        Lha wong para pejuang veteran berpangkat saja tak dihargai dan diacuhkan, apalagi dengan para 'pahlawan tanpa tanda jasa' seperti dirinya?! Gelar 'Pahlawan Tanpa Tanda Jasa' itu seolah pemakluman bahwa sudah sewajarnya para guru ikhlas bekerja keras demi memajukan pendidikan. Walau tak pernah dihargai secara layak pun mereka tetap harus ikhlas. Karena itulah takdir bagi 'Pahlawan Tanpa Tanda Jasa'.


        Sekarang jangankan menghargai hal-hal yang besar, pada hal-hal yang kecil saja, semua orang tak peduli. Contohnya dalam menyalakan lampu jalan ini. Bayangkan! Ada begitu banyak manusia yang melewati jalan itu. Kenapa cuma dia yang harus berepot-repot turun ke parit busuk itu cuma untuk menyalakan lampu?! Tadinya memang tak ada yang menyuruhnya, tapi lama kelamaan semua warga kampung malah menganggap menyalakan dan mematikan lampu jalan itu sudah menjadi kewajiban seorang Nurcahyo. Bila ia tak menunaikan 'kewajibannya', maka ia dianggap telah merugikan kepentingan masyarakat!


        Kadang ia lupa menyalakan lampu itu, biasanya bila sekolah libur. Karena saat ia tak perlu pulang- pergi melewati jalan itu. Selalu ada saja orang kampung yang memprotesnya.


        "Pak Nur! Lampu jalannya kok nggak dinyalakan sih?! Sebentar lagi malam! Padahal, sekarang juga kami mau ke kota. Kalau gelap, mana bisa kami bisa melalui jalan itu? Bisa-bisa kami terperosok parit atau tertabrak kendaraan yang lewat!" Begitu kata tetangga-tetangganya.


        Maka Nurcahyo pun turun ke parit itu dan menyalakan lampu bagi mereka. Orang-orang puas, mereka pun langsung bubar. Bahkan tanpa mengucapkan terimakasih!


        Atau Pak RT sendiri yang mendatanginya dan memulai 'pidato basa-basinya'.


        "Malam Pak Nur. Apa kabar? Syukurlah Bapak dalam keadaan sehat wal'afiat sehingga kita bisa bertemu saat ini. Ehm…anu…ngomong-ngomong lampu jalannya belum dinyalakan ya? Kalau tidak keberatan sudikah kiranya Anda…"


        Sebelum basa-basi itu semakin basi dan membuatnya tambah muak, Nurcahyo langsung pergi, turun ke parit itu dan menyalakan lampu. Kali ini ia menjepit hidungnya dengan jepit jemuran. Karena kini aroma parit itu semakin kuat. Pak RT pun pergi begitu saja, tak terpikir pula untuk berterimakasih.


        Padahal, mengingat betapa pentingnya jalan itu bagi warga-warga kampung sekitar, tindakan Nurcahyo yang rela 'berjibaku' dengan bau busuk parit demi menyalakan lampu jalan tidak bisa dianggap remeh. Bayangkan kecelakaan mengerikan yang mungkin terjadi bila tak ada yang mau menyalakan lampu!


        Orang-orang pun tak merasa perlu bersusah payah turun ke parit busuk itu untuk menyalakan lampu. Kan sudah ada Nurcahyo! Jelas saja Nurcahyo jadi senewen. Memangnya dia jongos?!


        Pernah ia mengusulkan pada Pak RT agar diadakan semacam shift untuk menyalakan lampu itu. Seperti giliran ronda pada siskamling Jadi bukan dia saja yang terbebani. Tapi apa jawab Pak RT?


        "Waduh…gimana ya Pak. Masalahnya tak seorang warga pun yang kuat dengan bau parit itu."


        Emangnya saya kuat, apa?! Nggak liat hidung saya yang makin tipis gara-gara terus dijepit pake jepit pemuran?! Rutuk Nurcahyo. Tapi tentu saja hanya dalam hati.


        "Lagipula, rumah Pak Nur yang posisinya paling dekat dengan lampu itu. Jadi…ya…sudah sewajarnya lampu itu menjadi tanggung jawab Pak Nur. Semua warga di sini pasti sangat tertolong dengan keikhlasan Bapak." Ucap Pak RT sambil tersenyum maniiis sekali. Semanis susu yang kebanyakan gula. Bikin eneg.


        Pernah juga Nurcahyo mengusulkan untuk diadakan kerja bakti membersihkan sampah-sampah yang menggunung di parit itu. Dan tanggapan yang didapatnya adalah…


        "Wah, bagus kalau Pak Nur sudah punya kesadaran seperti itu. Lebih bagus lagi kalau tanpa banyak bicara langsung dikerjakan, Pak. Jadi orang memang harus berinisiatif. Pak Nur memang warga teladan! Saya salut! Ehm…ngomong-ngomong... kapan Bapak mau membersihkan parit itu?"



        "DASAR ORANG-ORANG TAK TAHU DIRI! PERSETAN DENGAN MEREKA!" Bagai kesetanan, Nurcahyo langsung keluar dari parit. Emosi yang menggelegak membuat gerakannya begitu serampangan sehingga lututnya berkali-kali terantuk dinding parit. Ketika akhirnya ia berhasil keluar dari parit, bukan hanya tangannya yang memar, tapi juga kedua lututnya. Ia langsung menuntun sepedanya pergi dari tempat itu, tanpa menyalakan lampu.

        Biar saja orang-orang itu protes! Didemo pun dia tak akan peduli! Wong para pejabat tinggi saja bisa tetap ayem meski dihujat rakyat se-Indonesia raya?! Ia bersumpah tak kan menyalakan lampu jalan itu lagi. Selamanya!

    *****

        Nurcahyo memang sudah berniat untuk tak lagi ambil pusing dengan lampu itu. Tapi rupanya, menyalakan lampu jalan sudah menjadi kebiasaan yang mengakar kuat baginya. Jadi bila melewati jalan itu, spontan ia langsung turun ke parit dan menyalakan lampu. "Lho kenapa aku menyalakan lampu sialan ini lagi?!" Gerutunya setelah sadar. Nurcahyo segera keluar dari parit sambil menyumpah-nyumpah, mengutuki ketololannya. Adegan itu terus terjadi berkali-kali sampai akhirnya Nurcahyo memutuskan untuk tidak lagi melewati jalan itu. Walau, itu berarti ia harus mengambil jalan memutar yang jaraknya 2 kali lebih jauh. Hasilnya ia memang jadi lebih ngos-ngosan, tapi ada semacam kepuasan batin karena akhirnya berhasil melepaskan diri dari lampu sialan itu. Tak apalah, hitung-hitung olahraga! Begitu pikirnya menghibur diri.


        Namun, seperti yang ia duga, orang-orang kampung mulai berdatangan ke rumahnya, mereka menyindir-nyindirnya, beberapa bahkan tak segan menegur dengan keras. Pak RT sendiri sudah berkali-kali berkunjung ke rumahnya. Intinya: mereka menuntut Nurcahyo 'menjalankan tugasnya' lagi: menyalakan lampu jalan bagi mereka.


        "Taik! Kalau mau menyalakan, nyalakan saja sendiri?!" Itu reaksi yang biasa ia lontarkan untuk mengusir orang-orang menyebalkan itu. Lama-lama ia jadi makin sensitif bila disinggung mengenai masalah itu. Bahkan yang semakin ekstrim, ketika istrinya hanya mengatakan "Pak, tolong belikan Lampu" atau ketika Udin, anak semata wayangnya yang masih kelas 4 SD merengek manja, "Pak, jalan-jalan yuk.", Nurcahyo langsung mengamuk seperti orang kesurupan. Baginya, haram dua kata itu disebut-sebut di hadapannya. Para tetangganya pun mulai berkasak-kusuk. "Nurcahyo jadi stress!", "Nurcahyo sudah gila!", "Nurcahyo wis dadi gendheng!" Dan masih banyak lagi ungkapan-ungkapan serupa. Tapi Nurcahyo sengaja berlagak tuli. Ia sendiri sudah cukup pusing terus-menerus memikirkan nasibnya sebagai 'pegawai honorer abadi'.

    *****


        "Pak, sudah dengar belum? Kemarin putra bungsu Bu Gondho terperosok ke parit waktu melewati jalan kecil itu. Kasihan, kakinya mendapat 5 jahitan." Tutur istrinya pada suatu malam, sambil menyuguhkan teh hangat. Saat itu, Nurcahyo membaca koran di teras.


        "Kasihan sekali." Nurcahyo menanggapinya dingin. Ia tak melepaskan pandangannya dari koran yang dibacanya.


        "Kemarinnya lagi ada tabrakan antara dua sepeda motor. Pengendaranya meninggal seketika!"


        "Huh! Merekanya saja yang sembrono!" Cibir Nurcahyo sinis.


        "Sekarang jalan itu jadi rawan! Banyak berandalan yang suka nongkrong dan mabuk-mabukan di sana! Minggu ini saja, sudah lima warga kampung kita kena palak!" Sang istri mulai gregetan melihat reaksi suaminya yang bagai 'kafilah berlenggang kangkung meski anjing terus menggonggong'. Dia yang jadi 'anjing'nya


        "Lalu kenapa, Bu?! Apa urusannya denganku?!" Sergah Nurcahyo. Ia pun merasa jengkel dengan gangguan-gangguan istrinya.


        Istrinya menghela nafas, "Pak, kau ini tak sadar ya?! Semua kejadiannya itu terjadi setelah kau tak lagi mau menyalakan lampu jalan itu!"


        Darah Nurcahyo langsung mendidih. Dua kata terlarang telah diucapkan di hadapannya! Ia membanting korannya ke lantai. "Apa Bu?! Jadi maksudmu akulah yang menyebabkan semua petaka ini, iya?! Orang-orang itu celaka gara-gara aku, begitu maksudmu?!" Bentak Nurcahyo menggelegar "Mereka saja yang guoblok! Sudah tahu gelap, eh masih saja lewat di sana. Sudah tahu di sana ada lampu jalan, eh tak satupun yang berinisiatif untuk menyalakannya! Apa itu semua salahku, hah?!"


        "Kau itu kenapa sih, Pak? Dulu kau tak seperti ini. Rumah kita yang paling dekat dengan lampu itu. Wajar kalau kita yang harus menyalakannya..." Sang istri melunakkan nada bicaranya.


        "Apa kau bilang?! Kita?! Kapan kau mau turun ke parit busuk itu untuk menyalakan lampu, Hah?! Kapan?! Aku! Aku yang selalu melakukannya!" Nurcahyo mencibir. "Buat apa aku berkorban untuk orang-orang tak tahu terimakasih itu?! Tak sekalipun mereka menghargai apa yang sudah aku lakukan! Percuma Bu! Percuma!"


         "Apa Pak? Ya ampuun! Jadi kau mengharapkan pamrih? Pujian? Uang? Piagam? Lencana? Atau malah ingin dibuatkan monumen peringatan bertuliskan: 'Inilah Nurcahyo, Sang Penyala Lampu Jalan'? Lucu!" Kini giliran istrinya yang mencibir. "Percuma Pak kalau kau mengharapkan materi dari manusia. Gusti Allah yang akan membalas amal Bapak."


        "Alah! Mana balasan dari Gusti Allah yang kau katakan?! Mana?! Wong sampai sekarang kita tetap miskin!"


        "Ya Allah, Pak! Istighfar! Harusnya kita bersyukur! Masih banyak orang yang kondisinya jauh lebih parah dari kita! Kita toh punya rumah sendiri, biar kecil. Makan masih bisa tiga kali sehari! Tak pernah sampai harus berhutang! Jangan picik, Pak! Lagipula apa hubungannya menyalakan lampu jalan dengan keadaan kita?!" Perempuan itu benar-benar tak habis pikir dengan jalan pikiran suaminya.


        "Ah! Banyak omong kau, Bu! Kalau kau memang peduli, kenapa bukan kau saja yang terjun ke parit busuk itu. Nyalakan sendiri lampu buat orang-orang itu?! Bisanya cuma menyuruh orang! Seperti anjing! Cuma pintar menggonggong!" Hening malam robek oleh gelegar teriakan Nurcahyo, begitu juga hati sang istri. Tanpa menghiraukan butir-butir air mata yang mulai mengalir di pipi wanita itu, Nurcahyo masuk ke kamarnya, dan membanting daun pintu keras. Udin yang dari tadi hanya berani melihat pertengkaran itu dari balik pintu kamarnya, memberanikan diri untuk keluar.


        "Bapak marah lagi gara-gara lampu jalan ya Bu?" Tanya bocah itu lirih.

        Ibunya tak menjawab. Mata menatap wajah lugu itu dengan tatapan kosong. Perlahan matanya kemudian menyipit, ujung bibirnya tertarik ke bawah. Mimbik-mimbik. Ia pun mulai tergugu. Sementara, di luar malam kian larut.

    *****

        Langit kembali semburat merah saat matahari semakin condong ke arah barat. Burung-burung gagak berkaok-kaok, berkepakan di udara. Aneh. Biasanya burung gagak jarang terlihat di daerah itu, apalagi sampai sekawanan. Kata orang adanya burung gagak merupakan pertanda buruk. Biasanya gagak akan datang membawa kematian bersamanya. Benarkah?


        Adapun Nurcahyo, ia tengah mengayuh sepeda tuanya yang sudah berderit-derit, pulang ke rumah, seperti biasa. Tak dihiraukan sekawanan burung gagak itu. Ia merasa lelah. Terlalu lelah untuk memperhatikan sekawanan gagak. Benaknya ruwet memikirkan istrinya yang pasti masih ngambek. Ia tahu omongannya sudah keterlaluan kemarin malam. Semoga sang Istri tetap mau membuatkan makan malam dan memijitnya di rumah nanti... Ah, mudah saja toh. Dengan sedikit rayuan dan...ehm! Wanita manapun pasti akan luluh dan takluk.


        Sampai di depan rumahnya, ia terbelalak. Banyak sekali orang yang berkumpul di depan rumahnya. Seperti ada slametan saja. Bisik-bisik mereka terdengar seperti dengung tawon, dan langsung hening seketika ketika mereka menyadari Nurcahyo sudah berada tak jauh dari situ. Mereka menatap Nurcahyo dengan berbagai sorot mata. Ada yang menyiratkan rasa kasihan, mencela, dan lain sebagainya.


        Nurcahyo mengira kalau orang-orang itu berkumpul di depan rumahnya untuk berdemo karena ia tak pernah lagi menyalakan lampu jalan. Ia turun dari sepedanya, lalu berjalan mendekati kerumunan orang itu dengan angkuh.


        "Heh, ngapain kalian semua ngumpul di depan rumahku?! Memangnya di sini ada sunatan apa?! Ayo bubar! Kalau tujuan kalian untuk memaksaku menyalakan lampu sialan itu lagi, cuih! Sampai mati pun aku takkan sudi!" Seru Nurcahyo sambil berkacak pinggang.


        Orang-orang itu saling berpandangan. Dengung tawon kembali terdengar. Akhirnya Pak RT sendirilah yang maju untuk menghadapi Nur Cahyo.


        "Pak Cahyo... sebaiknya Bapak tabah ya...Ini...ini cuma cobaan dari Tuhan. Sabar ya Pak..." Ujar Pak RT pelan sambil menepuk-nepuk pundak Nur Cahyo. Ia tampak sangat prihatin.


        Nurcahyo mengenyitkan keningnya, "Hah?! Pak RT ngomong apa sih?! Saya nggak ngerti?!"


    Bukannya menjawab, Pak RT malah terus menepuk-nepuk pundaknya dan mengoceh agar dia bersabar menghadapi cobaan. Tidak sabar, Nur Cahyo menerobos kerumunan orang itu, masuk ke rumahnya.


        "He ada apa ini?! Kenapa kalian diam semua?! Heh! Jawab! Apa kalian bisu?!" Makinya jengkel setengah mati.


        Ia masuk ke dalam kamarnya yang terbuka. Tetangga-tetangganya juga berada di dalam sana. Begitu mengetahui apa yang terjadi, Nur Cahyo terbelalak. Tubuhnya gemetar. Saking kagetnya, tas kerjanya dijatuhkannya begitu saja.


        Di tempat tidur, istrinya tergolek lemas. Tampak tak sadarkan diri. Tubuhnya bersimbah darah.

    "A-apa..." Nur Cahyo memegangi kepalanya. Ekspresinya sangat kacau. "A-apa yang terjadi?! Je-jelaskan! Kenapa ini bisa terjadi!" Teriaknya histeris. Seorang wanita yang dikenalnya tinggal tak jauh dari rumahnya akhirnya menjelaskan awal mula kejadian itu.


        "Maaf, Pak. Sebenarnya kami tak tahu bagaimana kejadian ini berawal. Tiba-tiba saja kami sudah menemukan Bu Cahyo tergeletak di dalam parit besar itu. Bu Cahyo terperosok, lukanya cukup parah. Mungkin, kakinya patah. Tapi kami sudah memanggil ambulans... Sebentar lagi pasti akan tiba."


        Tubuh Nur Cahyo bergoyang limbung. Ia menyandarkan punggungnya ke dinding agar tak jatuh. Ia tak perlu lagi bertanya apa yang dilakukan istrinya di parit itu hingga sampai terperosok. Dasar wanita goblok!


        "Kalau kau memang peduli, kenapa bukan kau saja yang terjun ke parit busuk itu. Nyalakan sendiri lampu buat orang-orang itu?! Bisanya cuma menyuruh orang! Seperti anjing! Cuma pintar menggonggong!"


        Kalimat terakhir yang dia lontarkan kepada istrinya saat mereka bertengkar malam itu berputar-putar dalam benaknya. Wanita goblok itu ternyata benar-benar melaksanakan kata-kata itu, tanpa berpikir panjang! Sederet angka rupiah yang harus dikeluarkannya untuk biaya rumah sakit sang istri tiba-tiba muncul di otaknya. Kepalanya langsung nyut-nyutan.


        "LAAAAKKKNAAAAAATTTTTT!!!" Jeritan histeris Nur Cahyo menggelegar sebelum tubuhnya gemetar hebat lalu ambruk membentur lantai. Pingsan.

    Malang, 10 April 2008


    Nah, sekarang tantangan buat kita semua nih. Bisa gak mengadaptasi cerpen ini menjadi skenario film yang bagus???  ;-)   

    Saturday, December 12, 2009

    DICARI PENULIS…!!!

    Penerbit MEDIA PRESSINDO GROUP, sebuah penerbit yang sedang berkembang di Yogyakarta membuka kesempatan bagi ANda yang memiliki karya tulis untuk dibukukan. Penerbit Media Pressindo, berdiri sejak 1998 dan telah berkembang menjadi 3 Kelompok Penerbitan dan total 10 Divisi penerbit.



    GROUP MEDIA PRESSINDO dengan 6 Divisi yaitu:

    1. Media Pressindo

    2. Narasi

    3. Pustaka Widyatama

    4. Pustaka Yustisia

    5. Mutiara Media

    6. Media Com

    SKETSA GROUP dengan 3 Divisi yaitu:

    Delphi Publisher
    Milestone Publishing House
    Penerbit CAKRAWALA (penerbit-cakrawala.blogspot.com)





    Kami telah bekerjasama dengan perusahaan-perusahaan distributor yang berkinerja sangat bagus dengan sebaran penjualan buku kami meliputi seluruh wilayah Indonesia.


    KRITERIA KELAYAKAN NASKAH:

    1. Tema menarik dan marketable, serta memberi manfaat riil bagi pembaca.

    2. Naskah ditulis dengan sistematika yang runtut, menggunakan gaya bahasa popular, obyektif, dan enak dibaca.

    3. Bila diperlukan, naskah dilengkapi dengan foto.

    4. Lebih disukai bila naskah mengandung unsur baru, gagasan kreatif orisinal, yang belum terdapat pada buku-buku lain yang sudah terbit.

    5. Judul agar sesuai dengan topik, sebaiknya singkat, padat, dan unik.

    6. Panjang naskah minimal 100 halaman (untuk kriteria naskah tertentu), A4 format 1,5 spasi dengan font Times New Roman 12 pt (bila memakai MS Word, gunakan format penyimpanan RTF/ rich text format).

    7. Sebaiknya naskah dikirim dalam bentuk soft copy dan hard copy dengan melampirkan: sinopsis/ringkasan, daftar isi, serta biodata penulis.

    8. Penerbit memberikan keputusan layak terbit atau tidak, dalam waktu +- 2 minggu.

    9. Naskah dikirim ke:

    Alamat Redaksi : Jl. Irian Jaya D-24 Perum Nogotirto Elok II Yogyakarta 55292

    Telepon : (0274) 7103084

    E-mail : medpressgroup@yahoo.com

    penerbitnarasi@yahoo.com

    cp. 08882855643/08175486266
    Didik Adi Sukmoko /M. Ahmad Jalidu
    External Affair and Promotion Manager


    AYO! JANGAN CUMA MIMPI JADI PENULIS! KAMI MENERIMA NASKAH: WIRAUSAHA, PSIKOLOGI POPULER, BUKU POPULER, KOMPUTER, ARSITEKTUR, KETRAMPILAN, PENUNJANG PENDIDIKAN, DLL.


    Saat ini kami sedang mencari naskah dengan tema-tema berikut:
    -Bisnis dan Kewirausahaan
    -Sejarah Sosial Politik Internasional
    -Sejarah Sosial Politik Nasional
    -Motivasi dan Psikologi populer
    -Buku-buku praktis Islam
    -Buku-buku belajar bahasa Asing
    -Buku-buku Hukum dan Perundangan
    -Buku Panduan Teknis Komputer
    -Pengetahuan Umum
    -Kebudayaan (terutama kebudayaan Jawa)
    -dsb.

    TIPS FAST WRITING: Menggali Ide Dengan Memaksimalkan Si Otak Kanan Yang Super Spontan

    Hmm...lihat gambar di samping ini. Ada seseorang membawa pensil yang berukuran giga, dengan ekspresi seolah menulis adalah hal yang sangat membebani. Owww!

    Pernah gak ini terjadi pada kita? Guru bahasa ngasih kita tugas buat bikin essay, cerpen, dll. Kita duduk manis, di hadapan kita sudah tersedia kertas dan pulpen. Tulis, tulis, tulis...Aduh! Salah! Hapus dulu...Tulis, tulis, aarggh salah lagi! Akhirnya kita frustasi, menyingkir dari tulisan kita. Pergi makan, nonton atau tidur! Pokoknya apa aja deh asal gak nulis!

    Masalahnya nih, kadang kita kudu nulis sebelum menemukan apa yang sebenarnya ingin kita tulis. Kita harus melompati "editor" otak kiri yang terus pingin meralat segalanya sebelum tertuang di atas kertas. Ada baiknya kita biarkan otak kanan yang spontan dan kreatif memegang kendali untuk sementara waktu.


    Salah satu cara untuk mengatasi masalah ini adalah dengan "Menulis Cepat". Tips ini akan mengatasi masalah lembaran kosong dan melihat kemajuan dengan segera. Berguna banget untuk menjernihkan pikiran sebelum menulis.


    Langkah-langkah:


    Pilih suatu topik. Yang ringan-ringan aja. Bisa dimulai dari
    topik yang kita sukai. Misal: "Kacamata Hitam" atau "Aku Suka Warna Ungu".

    Gunakan timer untuk jangka waktu tertentu. Bisa 5 menit, 7
    menit, 10 menit, dst. Wis penak-penakno Ker! He3x. Selama
    jangka waktu itulah kita harus terus menulis! Shinu made,
    zutto kaite kudasai!
    (Apaan yah artinya? Hehehe)

    Terus menulis secara kontinyu walau apa yang kita tulis
    adalah: "Waduh nulis apa yah?"

    Waktu timer berjalan, hindari:
    * Pengumpulan gagasan
    * Pengaturan kalimat
    * Pemeriksaan tata bahasa
    * Pengulangan kembali
    * Mencoret atau menghapus sesuatu.

    Pokoknya, KEEP ON GOING WITH THE WRITING! XD


    Teruskan hingga waktu habis, baru kita boleh berhenti (Hooh...)

    Karena ga boleh diedit dulu, nanti tulisan kita bisa aja tampak amburadul, salah eja, gagasan yang ga sempurna. GA PAPA. Bisa aja nanti kita gak bisa mikir tentang hal lain yang harus ditulis, atau jari kita pegel, linu, nyeri otot. Kalau itu terjadi, tulis aja: "apa lagi, apa lagi ya?", atau "aduh, tanganku pegel," atau kata-kata apa saja yang muncul dari benak kita sampai topik itu kembali lagi.Nantinya kita bisa lihat bahwa sebagian besar tulisan kita GJ (Ga Jelas), sedangkan sebagian yang lain mempunyai sentuhan kebenaran dan kejelasan.

    Nantinya kita bisa memanfaatkan materi tulisan cepat kita sebagai dasar untuk tulisan kita yang sempurna dengan mengeluarkan gagasan yang berguna dan menyusunnya.Yang paling penting adalah nggak berusaha untuk "langsung sempurna" sejak awal.

    Hey!
    Bahkan
    penulis kondang pun memulai dengan draft yang tidak sempurna. Coba deh tanya ama mereka.





    Dengan menulis cepat, insyaallah akan membebaskan kita dari beban dan membebaskan kita untuk mulai menyusun pikiran dan ide-ide kita yang nantinya bakal menjadi "maha karya kita".

    Agar terbiasa, lakukan metode ini dengan meningkatkan periode waktu. Mulai dengan waktu 5 menit, lalu 10 menit, dst. Untuk subjek yang sangat kompleks, kita mungkin akan memerlukan waktu untuk menulis cepat selama 45 menit.


    Menulis cepat insyaallah akan menjernihkan pikiran, memusatkan gagasan kita dan membuat yang tampak menjadi tampak... Maksudnya cara pandang baru! Ga ada hubungannya ama jin. He3x.

    Intinya adalah JANGAN PERNAH MENGEDIT TULISAN KALAU TULISAN ITU BELUM SAMPAI "THE END"

    Selamat menulis dan berkarya, ;D
    taken from Quantum Learning


    tulisan ini juga dapat dilihat di eyeindonesia.blogspot.com. Ditulis ulang oleh penulis yang sama dengan sedikit perubahan.