Saturday, January 9, 2010

MENGADAPTASI CERPEN MENJADI SKENARIO FILM (Bag. 1)


Ngubah cerpen jadi skenario? Emang bisa? Bukannya kependekan tuh? Biasanya kan novel yang di-film-kan, atau istilah kerennya ekranisasi gitu. Udah tau film EMAK INGIN NAIK HAJI kan? Film yang menyentuh itu, diangkat dari cerpennya Asma Nadia loh. Bagus kan? Emang sih, secara durasi akhirnya filmnya juga lebih pendek daripada mayoritas film-film bioskop yang minimal 90 menit. Ya, film itu cuma 80 menit panjangnya. Tapi yang penting kan pesannya nyampe.

Lagipula, ada penelitian yang menyatakan bahwa pesan visual lebih bisa diterima daripada pesan tertulis terutama untuk anak-anak. Apalagi kalau gambarnya bisa bergerak-gerak. Dan pesan visual ga cuma efektif buat anak-anak aja. Banyak orang yang lebih mudah mengingat adegan dalam film karena ditampilkan secara visual. Adegan-adegan pada cerpen atau novel, biasanya orangnya lupa-lupa ingat. Tapi ini juga tergantungorangnya sih. Tapi intinya asyik kan kalau cerpen kita dapat mencapai pangsa pasar yang lebih luas jika tokoh-tokohnya bergerak dan konfliknya bisa tampil di layar perak?

Pada dasarnya nggak semua cerpen atau karya sastra tertulis bisa dibuat menjadi skenario film yang bagus. Ada beberapa ketentuan mendasar yang harus dipenuhi agar sebuah cerita bisa diangkat menjadi skenario film yang menarik nan dinamis. Hal-hal berikut akan dibahas insyaallah setelah dua postingan berikutnya. Jadi di sini, Neko akan menampilkan dulu salah satu cerpen Neko yang pernah jadi Juara V Peksimenal (Pekan Kreativitas Seni Mahasiswa Nasional) tingkat Jatim (idiiih kok malah pamer? Hehehehe). Nah, coba kalian cermati, bisa nggak kira-kira cerpen ini dijadikan skenario?

Pada dua postingan berikutnya,  Neko akan memposting hasil percobaan adaptasi cerpen ini ke dalam plot skenario film yang bisa ditapilkan secara visual. Kalau mau, kalian bisa coba di rumah ya? (hehehe...kaya guru aja). So, let's learn by doing first.


LAMPU JALAN



    Langit semburat merah. Perlahan mentari meluncur kembali ke peraduannya. Lelah setelah seharian menyinari mayapada. Seorang lelaki kurus bernama Nurcahyo mengayuh sepeda tuanya lambat-lambat, pulang ke rumahnya. Lima belas tahun sudah sang sepeda setia menemaninya, mengantarkannya pulang-pergi ke sebuah SMP Negeri di kota, tempat ia bekerja sebagai guru Sejarah. Selama itu juga ia terus menanti pengangkatan status dirinya dari guru honorer menjadi guru tetap. Tak heran keningnya selalu terlihat berkerut karena ia terus memikirkan nasibnya yang tak jelas. Guratan-guratan usia sudah menghiasi wajahnya tirusnya, membuatnya tampak lebih tua dari umurnya yang sekarang sekitar 40-an.


    Sepanjang perjalanan menuju rumahnya, lelaki itu terus melamun, memikirkan kapan nasibnya akan berubah. Hingga akhirnya ia mencapai pada sebuah kesimpulan, "Ealah...cuma Tuhan yang tahu, kapan orang-orang 'atas' itu mau tahu dengan nasib orang-orang sepertiku." Tanpa sadar ia berkata pada dirinya sendiri.


    Sampai di sebuah jalan kecil, ia berhenti mengayuh. "Eeh...eh...eeh...!" Srreeeekkk! Bunyi sepatu pantovelnya saat bergesekan dengan tanah. Rem sepedanya agak blong, sehingga ia harus menggunakan sepatunya setiap kali ingin berhenti.


    Biasanya cukup banyak orang dan kendaraan yang berlalu-lalang di sana. Walaupun kecil, jalan itu adalah jalan penting yang menghubungkan tiga kampung di daerah itu dan juga jalan tercepat menuju kota. Namun, tak seperti biasanya, saat itu tak seorang pun melewati jalan itu, selain dirinya. Sepi. Nurcahyo tak urung bergidik melihat sisi kanan-kiri jalan yang ditumbuhi rimbun pepohonan yang sangat lebat layaknya hutan kecil. Suasana saat itu begitu remang-remang, dan terkesan...angker.


    "Halah! Ora wedhi aku! (Tidak takut aku)" Ia menyergah dirinya sendiri. Diusirnya pikiran-pikiran aneh yang hampir menguasai benaknya tadi. Kemudian ia turun dari sepedanya dan bergegas menuju ke sebuah lampu jalan yang berdiri tegak di pinggir jalan. Lampu itu satu-satunya penerangan di sana. Selama ini cuma Nurcahyolah yang mau menyalakannya sepulang bekerja. Pagi harinya saat ia akan berangkat kerja, baru ia mematikannya lagi. Hemat listrik, begitu pikirnya.


    Di belakang lampu membentang parit besar nan dalam. Dengan hati-hati Nurcahyo turun ke parit. Untuk menyalakan lampu itu, orang memang harus turun ke parit, karena saklar lampu itu terpasang di dinding beton parit.


    Paru-parunya langsung sesak dihantam serbuan aroma khas parit yang menguar. Baunya…uh! Jangan tanya! Ada juga orang yang buang air di parit itu! Selain itu, tampaknya hampir semua orang yang melewati jalan melemparkan sampah-sampahnya ke parit. Tak heran kalau parit itu selalu meluap bila hujan tiba. Orang-orang biasanya mengeluh bila banjir melanda kampung mereka. Namun, toh mereka tak juga menghentikan kebiasaan buruk mereka: membuang sampah di parit!


    "Tukang listrik edan!" Gerutu Nurcahyo, dulu saat pertama kalinya menyalakan lampu. Entah apa yang dipikirkan si tukang listrik saat memutuskan untuk memasangnya di sana. Agar saklar itu tak menjadi bahan keisengan anak-anak nakal? Atau justru tukang listrik itulah yang iseng? Nurcahyo tak pernah tahu. Satu hal yang ia tahu, karena hal itulah tak ada orang yang sudi menyalakan lampu selain dirinya.


    "Duh Gustii..." Bau busuk parit membuat kepalanya pusing. Ia sudah kebelet pingin muntah! Saat tangannya akhirnya berhasil meraih saklar lampu, sekejap tiba-tiba aliran listrik menyengat jari-jarinya! Lelaki itu tersentak! Walau tegangannya tidak terlalu tinggi, hal itu membuat Nurcahyo merasa jantungnya terasa berhenti berdetak selama beberapa detik! Rasanya ngilu sekali. Jari-jarinya terasa berkedut-kedut.


    "JI**NC*K!" Umpatnya spontan. Ia jengkel setengah mati! "Lampu sialan!" Dalam keadaan dikuasai amarah, ia melakukan perbuatan paling konyol sedunia: meninju tiang lampu itu. Kontan, ia pun menjerit, mengaduh-aduh, dan melontarkan seribu satu umpatan dari bibirnya, sembari memegangi tangan kanannya yang memar membiru.


    Selama ini Nurcahyo tak pernah menganggap menyalakan lampu jalan itu sebagai suatu hal yang istimewa dan hebat. Baginya, turun ke parit sambil mati-matian menahan nafas lalu menyalakan lampu adalah salah satu rutinitas hariannya. Sama seperti saat dia makan, minum, tidur, pergi bekerja, buang air, dan kentut. Ia menyalakannya cuma karena tak ingin terjungkal saat melewati jalan itu. Berjalan dalam di jalan yang gelap tentu tak enak, apalagi kalau bersepeda. Lagipula, rumahnya terletak hanya beberapa meter dari lampu jalan itu.


    Namun, insiden kecil barusan benar-benar membuatnya sakit hati! Ia muak pada parit busuk itu, muak pada lampu jalan itu (yang telah berani menyetrumnya), muak pada hidupnya yang cuma begitu-begitu saja. Muak pada statusnya yang tak pernah bergeming dari 'pegawai honorer abadi'. Paling utama, ia muak pada ketidak pedulian orang-orang di sekitarnya. Kini perasaan itu telah berkerak, menjadi borok di hatinya, dan tak sanggup lagi ia bendung.


    Pekerjaannya yang selalu berkutat dengan sejarah membuatnya benar-benar paham bagaimana bangsa ini memperlakukan para pahlawan. Setiap tanggal 17 Agustus-an, ia hanya bisa menelan ludah setiap koran memberitakan tentang nasib para pejuang veteran kemerdekaan pasca penjajahan. Ada yang kini berprofesi sebagai tukang parkir, tukang becak, bahkan tukang hutang. Ironis!


    Lha wong para pejuang veteran berpangkat saja tak dihargai dan diacuhkan, apalagi dengan para 'pahlawan tanpa tanda jasa' seperti dirinya?! Gelar 'Pahlawan Tanpa Tanda Jasa' itu seolah pemakluman bahwa sudah sewajarnya para guru ikhlas bekerja keras demi memajukan pendidikan. Walau tak pernah dihargai secara layak pun mereka tetap harus ikhlas. Karena itulah takdir bagi 'Pahlawan Tanpa Tanda Jasa'.


    Sekarang jangankan menghargai hal-hal yang besar, pada hal-hal yang kecil saja, semua orang tak peduli. Contohnya dalam menyalakan lampu jalan ini. Bayangkan! Ada begitu banyak manusia yang melewati jalan itu. Kenapa cuma dia yang harus berepot-repot turun ke parit busuk itu cuma untuk menyalakan lampu?! Tadinya memang tak ada yang menyuruhnya, tapi lama kelamaan semua warga kampung malah menganggap menyalakan dan mematikan lampu jalan itu sudah menjadi kewajiban seorang Nurcahyo. Bila ia tak menunaikan 'kewajibannya', maka ia dianggap telah merugikan kepentingan masyarakat!


    Kadang ia lupa menyalakan lampu itu, biasanya bila sekolah libur. Karena saat ia tak perlu pulang- pergi melewati jalan itu. Selalu ada saja orang kampung yang memprotesnya.


    "Pak Nur! Lampu jalannya kok nggak dinyalakan sih?! Sebentar lagi malam! Padahal, sekarang juga kami mau ke kota. Kalau gelap, mana bisa kami bisa melalui jalan itu? Bisa-bisa kami terperosok parit atau tertabrak kendaraan yang lewat!" Begitu kata tetangga-tetangganya.


    Maka Nurcahyo pun turun ke parit itu dan menyalakan lampu bagi mereka. Orang-orang puas, mereka pun langsung bubar. Bahkan tanpa mengucapkan terimakasih!


    Atau Pak RT sendiri yang mendatanginya dan memulai 'pidato basa-basinya'.


    "Malam Pak Nur. Apa kabar? Syukurlah Bapak dalam keadaan sehat wal'afiat sehingga kita bisa bertemu saat ini. Ehm…anu…ngomong-ngomong lampu jalannya belum dinyalakan ya? Kalau tidak keberatan sudikah kiranya Anda…"


    Sebelum basa-basi itu semakin basi dan membuatnya tambah muak, Nurcahyo langsung pergi, turun ke parit itu dan menyalakan lampu. Kali ini ia menjepit hidungnya dengan jepit jemuran. Karena kini aroma parit itu semakin kuat. Pak RT pun pergi begitu saja, tak terpikir pula untuk berterimakasih.


    Padahal, mengingat betapa pentingnya jalan itu bagi warga-warga kampung sekitar, tindakan Nurcahyo yang rela 'berjibaku' dengan bau busuk parit demi menyalakan lampu jalan tidak bisa dianggap remeh. Bayangkan kecelakaan mengerikan yang mungkin terjadi bila tak ada yang mau menyalakan lampu!


    Orang-orang pun tak merasa perlu bersusah payah turun ke parit busuk itu untuk menyalakan lampu. Kan sudah ada Nurcahyo! Jelas saja Nurcahyo jadi senewen. Memangnya dia jongos?!


    Pernah ia mengusulkan pada Pak RT agar diadakan semacam shift untuk menyalakan lampu itu. Seperti giliran ronda pada siskamling Jadi bukan dia saja yang terbebani. Tapi apa jawab Pak RT?


    "Waduh…gimana ya Pak. Masalahnya tak seorang warga pun yang kuat dengan bau parit itu."


    Emangnya saya kuat, apa?! Nggak liat hidung saya yang makin tipis gara-gara terus dijepit pake jepit pemuran?! Rutuk Nurcahyo. Tapi tentu saja hanya dalam hati.


    "Lagipula, rumah Pak Nur yang posisinya paling dekat dengan lampu itu. Jadi…ya…sudah sewajarnya lampu itu menjadi tanggung jawab Pak Nur. Semua warga di sini pasti sangat tertolong dengan keikhlasan Bapak." Ucap Pak RT sambil tersenyum maniiis sekali. Semanis susu yang kebanyakan gula. Bikin eneg.


    Pernah juga Nurcahyo mengusulkan untuk diadakan kerja bakti membersihkan sampah-sampah yang menggunung di parit itu. Dan tanggapan yang didapatnya adalah…


    "Wah, bagus kalau Pak Nur sudah punya kesadaran seperti itu. Lebih bagus lagi kalau tanpa banyak bicara langsung dikerjakan, Pak. Jadi orang memang harus berinisiatif. Pak Nur memang warga teladan! Saya salut! Ehm…ngomong-ngomong... kapan Bapak mau membersihkan parit itu?"



    "DASAR ORANG-ORANG TAK TAHU DIRI! PERSETAN DENGAN MEREKA!" Bagai kesetanan, Nurcahyo langsung keluar dari parit. Emosi yang menggelegak membuat gerakannya begitu serampangan sehingga lututnya berkali-kali terantuk dinding parit. Ketika akhirnya ia berhasil keluar dari parit, bukan hanya tangannya yang memar, tapi juga kedua lututnya. Ia langsung menuntun sepedanya pergi dari tempat itu, tanpa menyalakan lampu.

    Biar saja orang-orang itu protes! Didemo pun dia tak akan peduli! Wong para pejabat tinggi saja bisa tetap ayem meski dihujat rakyat se-Indonesia raya?! Ia bersumpah tak kan menyalakan lampu jalan itu lagi. Selamanya!

*****

    Nurcahyo memang sudah berniat untuk tak lagi ambil pusing dengan lampu itu. Tapi rupanya, menyalakan lampu jalan sudah menjadi kebiasaan yang mengakar kuat baginya. Jadi bila melewati jalan itu, spontan ia langsung turun ke parit dan menyalakan lampu. "Lho kenapa aku menyalakan lampu sialan ini lagi?!" Gerutunya setelah sadar. Nurcahyo segera keluar dari parit sambil menyumpah-nyumpah, mengutuki ketololannya. Adegan itu terus terjadi berkali-kali sampai akhirnya Nurcahyo memutuskan untuk tidak lagi melewati jalan itu. Walau, itu berarti ia harus mengambil jalan memutar yang jaraknya 2 kali lebih jauh. Hasilnya ia memang jadi lebih ngos-ngosan, tapi ada semacam kepuasan batin karena akhirnya berhasil melepaskan diri dari lampu sialan itu. Tak apalah, hitung-hitung olahraga! Begitu pikirnya menghibur diri.


    Namun, seperti yang ia duga, orang-orang kampung mulai berdatangan ke rumahnya, mereka menyindir-nyindirnya, beberapa bahkan tak segan menegur dengan keras. Pak RT sendiri sudah berkali-kali berkunjung ke rumahnya. Intinya: mereka menuntut Nurcahyo 'menjalankan tugasnya' lagi: menyalakan lampu jalan bagi mereka.


    "Taik! Kalau mau menyalakan, nyalakan saja sendiri?!" Itu reaksi yang biasa ia lontarkan untuk mengusir orang-orang menyebalkan itu. Lama-lama ia jadi makin sensitif bila disinggung mengenai masalah itu. Bahkan yang semakin ekstrim, ketika istrinya hanya mengatakan "Pak, tolong belikan Lampu" atau ketika Udin, anak semata wayangnya yang masih kelas 4 SD merengek manja, "Pak, jalan-jalan yuk.", Nurcahyo langsung mengamuk seperti orang kesurupan. Baginya, haram dua kata itu disebut-sebut di hadapannya. Para tetangganya pun mulai berkasak-kusuk. "Nurcahyo jadi stress!", "Nurcahyo sudah gila!", "Nurcahyo wis dadi gendheng!" Dan masih banyak lagi ungkapan-ungkapan serupa. Tapi Nurcahyo sengaja berlagak tuli. Ia sendiri sudah cukup pusing terus-menerus memikirkan nasibnya sebagai 'pegawai honorer abadi'.

*****


    "Pak, sudah dengar belum? Kemarin putra bungsu Bu Gondho terperosok ke parit waktu melewati jalan kecil itu. Kasihan, kakinya mendapat 5 jahitan." Tutur istrinya pada suatu malam, sambil menyuguhkan teh hangat. Saat itu, Nurcahyo membaca koran di teras.


    "Kasihan sekali." Nurcahyo menanggapinya dingin. Ia tak melepaskan pandangannya dari koran yang dibacanya.


    "Kemarinnya lagi ada tabrakan antara dua sepeda motor. Pengendaranya meninggal seketika!"


    "Huh! Merekanya saja yang sembrono!" Cibir Nurcahyo sinis.


    "Sekarang jalan itu jadi rawan! Banyak berandalan yang suka nongkrong dan mabuk-mabukan di sana! Minggu ini saja, sudah lima warga kampung kita kena palak!" Sang istri mulai gregetan melihat reaksi suaminya yang bagai 'kafilah berlenggang kangkung meski anjing terus menggonggong'. Dia yang jadi 'anjing'nya


    "Lalu kenapa, Bu?! Apa urusannya denganku?!" Sergah Nurcahyo. Ia pun merasa jengkel dengan gangguan-gangguan istrinya.


    Istrinya menghela nafas, "Pak, kau ini tak sadar ya?! Semua kejadiannya itu terjadi setelah kau tak lagi mau menyalakan lampu jalan itu!"


    Darah Nurcahyo langsung mendidih. Dua kata terlarang telah diucapkan di hadapannya! Ia membanting korannya ke lantai. "Apa Bu?! Jadi maksudmu akulah yang menyebabkan semua petaka ini, iya?! Orang-orang itu celaka gara-gara aku, begitu maksudmu?!" Bentak Nurcahyo menggelegar "Mereka saja yang guoblok! Sudah tahu gelap, eh masih saja lewat di sana. Sudah tahu di sana ada lampu jalan, eh tak satupun yang berinisiatif untuk menyalakannya! Apa itu semua salahku, hah?!"


    "Kau itu kenapa sih, Pak? Dulu kau tak seperti ini. Rumah kita yang paling dekat dengan lampu itu. Wajar kalau kita yang harus menyalakannya..." Sang istri melunakkan nada bicaranya.


    "Apa kau bilang?! Kita?! Kapan kau mau turun ke parit busuk itu untuk menyalakan lampu, Hah?! Kapan?! Aku! Aku yang selalu melakukannya!" Nurcahyo mencibir. "Buat apa aku berkorban untuk orang-orang tak tahu terimakasih itu?! Tak sekalipun mereka menghargai apa yang sudah aku lakukan! Percuma Bu! Percuma!"


     "Apa Pak? Ya ampuun! Jadi kau mengharapkan pamrih? Pujian? Uang? Piagam? Lencana? Atau malah ingin dibuatkan monumen peringatan bertuliskan: 'Inilah Nurcahyo, Sang Penyala Lampu Jalan'? Lucu!" Kini giliran istrinya yang mencibir. "Percuma Pak kalau kau mengharapkan materi dari manusia. Gusti Allah yang akan membalas amal Bapak."


    "Alah! Mana balasan dari Gusti Allah yang kau katakan?! Mana?! Wong sampai sekarang kita tetap miskin!"


    "Ya Allah, Pak! Istighfar! Harusnya kita bersyukur! Masih banyak orang yang kondisinya jauh lebih parah dari kita! Kita toh punya rumah sendiri, biar kecil. Makan masih bisa tiga kali sehari! Tak pernah sampai harus berhutang! Jangan picik, Pak! Lagipula apa hubungannya menyalakan lampu jalan dengan keadaan kita?!" Perempuan itu benar-benar tak habis pikir dengan jalan pikiran suaminya.


    "Ah! Banyak omong kau, Bu! Kalau kau memang peduli, kenapa bukan kau saja yang terjun ke parit busuk itu. Nyalakan sendiri lampu buat orang-orang itu?! Bisanya cuma menyuruh orang! Seperti anjing! Cuma pintar menggonggong!" Hening malam robek oleh gelegar teriakan Nurcahyo, begitu juga hati sang istri. Tanpa menghiraukan butir-butir air mata yang mulai mengalir di pipi wanita itu, Nurcahyo masuk ke kamarnya, dan membanting daun pintu keras. Udin yang dari tadi hanya berani melihat pertengkaran itu dari balik pintu kamarnya, memberanikan diri untuk keluar.


    "Bapak marah lagi gara-gara lampu jalan ya Bu?" Tanya bocah itu lirih.

    Ibunya tak menjawab. Mata menatap wajah lugu itu dengan tatapan kosong. Perlahan matanya kemudian menyipit, ujung bibirnya tertarik ke bawah. Mimbik-mimbik. Ia pun mulai tergugu. Sementara, di luar malam kian larut.

*****

    Langit kembali semburat merah saat matahari semakin condong ke arah barat. Burung-burung gagak berkaok-kaok, berkepakan di udara. Aneh. Biasanya burung gagak jarang terlihat di daerah itu, apalagi sampai sekawanan. Kata orang adanya burung gagak merupakan pertanda buruk. Biasanya gagak akan datang membawa kematian bersamanya. Benarkah?


    Adapun Nurcahyo, ia tengah mengayuh sepeda tuanya yang sudah berderit-derit, pulang ke rumah, seperti biasa. Tak dihiraukan sekawanan burung gagak itu. Ia merasa lelah. Terlalu lelah untuk memperhatikan sekawanan gagak. Benaknya ruwet memikirkan istrinya yang pasti masih ngambek. Ia tahu omongannya sudah keterlaluan kemarin malam. Semoga sang Istri tetap mau membuatkan makan malam dan memijitnya di rumah nanti... Ah, mudah saja toh. Dengan sedikit rayuan dan...ehm! Wanita manapun pasti akan luluh dan takluk.


    Sampai di depan rumahnya, ia terbelalak. Banyak sekali orang yang berkumpul di depan rumahnya. Seperti ada slametan saja. Bisik-bisik mereka terdengar seperti dengung tawon, dan langsung hening seketika ketika mereka menyadari Nurcahyo sudah berada tak jauh dari situ. Mereka menatap Nurcahyo dengan berbagai sorot mata. Ada yang menyiratkan rasa kasihan, mencela, dan lain sebagainya.


    Nurcahyo mengira kalau orang-orang itu berkumpul di depan rumahnya untuk berdemo karena ia tak pernah lagi menyalakan lampu jalan. Ia turun dari sepedanya, lalu berjalan mendekati kerumunan orang itu dengan angkuh.


    "Heh, ngapain kalian semua ngumpul di depan rumahku?! Memangnya di sini ada sunatan apa?! Ayo bubar! Kalau tujuan kalian untuk memaksaku menyalakan lampu sialan itu lagi, cuih! Sampai mati pun aku takkan sudi!" Seru Nurcahyo sambil berkacak pinggang.


    Orang-orang itu saling berpandangan. Dengung tawon kembali terdengar. Akhirnya Pak RT sendirilah yang maju untuk menghadapi Nur Cahyo.


    "Pak Cahyo... sebaiknya Bapak tabah ya...Ini...ini cuma cobaan dari Tuhan. Sabar ya Pak..." Ujar Pak RT pelan sambil menepuk-nepuk pundak Nur Cahyo. Ia tampak sangat prihatin.


    Nurcahyo mengenyitkan keningnya, "Hah?! Pak RT ngomong apa sih?! Saya nggak ngerti?!"


Bukannya menjawab, Pak RT malah terus menepuk-nepuk pundaknya dan mengoceh agar dia bersabar menghadapi cobaan. Tidak sabar, Nur Cahyo menerobos kerumunan orang itu, masuk ke rumahnya.


    "He ada apa ini?! Kenapa kalian diam semua?! Heh! Jawab! Apa kalian bisu?!" Makinya jengkel setengah mati.


    Ia masuk ke dalam kamarnya yang terbuka. Tetangga-tetangganya juga berada di dalam sana. Begitu mengetahui apa yang terjadi, Nur Cahyo terbelalak. Tubuhnya gemetar. Saking kagetnya, tas kerjanya dijatuhkannya begitu saja.


    Di tempat tidur, istrinya tergolek lemas. Tampak tak sadarkan diri. Tubuhnya bersimbah darah.

"A-apa..." Nur Cahyo memegangi kepalanya. Ekspresinya sangat kacau. "A-apa yang terjadi?! Je-jelaskan! Kenapa ini bisa terjadi!" Teriaknya histeris. Seorang wanita yang dikenalnya tinggal tak jauh dari rumahnya akhirnya menjelaskan awal mula kejadian itu.


    "Maaf, Pak. Sebenarnya kami tak tahu bagaimana kejadian ini berawal. Tiba-tiba saja kami sudah menemukan Bu Cahyo tergeletak di dalam parit besar itu. Bu Cahyo terperosok, lukanya cukup parah. Mungkin, kakinya patah. Tapi kami sudah memanggil ambulans... Sebentar lagi pasti akan tiba."


    Tubuh Nur Cahyo bergoyang limbung. Ia menyandarkan punggungnya ke dinding agar tak jatuh. Ia tak perlu lagi bertanya apa yang dilakukan istrinya di parit itu hingga sampai terperosok. Dasar wanita goblok!


    "Kalau kau memang peduli, kenapa bukan kau saja yang terjun ke parit busuk itu. Nyalakan sendiri lampu buat orang-orang itu?! Bisanya cuma menyuruh orang! Seperti anjing! Cuma pintar menggonggong!"


    Kalimat terakhir yang dia lontarkan kepada istrinya saat mereka bertengkar malam itu berputar-putar dalam benaknya. Wanita goblok itu ternyata benar-benar melaksanakan kata-kata itu, tanpa berpikir panjang! Sederet angka rupiah yang harus dikeluarkannya untuk biaya rumah sakit sang istri tiba-tiba muncul di otaknya. Kepalanya langsung nyut-nyutan.


    "LAAAAKKKNAAAAAATTTTTT!!!" Jeritan histeris Nur Cahyo menggelegar sebelum tubuhnya gemetar hebat lalu ambruk membentur lantai. Pingsan.

Malang, 10 April 2008


Nah, sekarang tantangan buat kita semua nih. Bisa gak mengadaptasi cerpen ini menjadi skenario film yang bagus???  ;-)   

0 comments:

Post a Comment